Zakat merupakan salah satu pilar Islam yang memiliki dimensi ibadah sekaligus sosial. Sebagai mekanisme redistribusi kekayaan, kewajiban ini seajtinya tidak hanya bertujuan untuk menyucikan jiwa dan menyempurnakan ibadah puasa, sebagai bagian dari aspek teosentris. Akan tetapi ibadah zakat ini juga sarat akan nilai-nilai sosial kemanusiaan; meringankan beban sosial masyarakat dan solidaritas sosial, terutama bagi mereka yang kurang mampu. Dalam perspektif kemanusiaan dan sosial, zakat menjadi salah satu pilar keseimbangan ekonomi dalam Islam yang bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada individu yang terabaikan dalam sistem sosial.
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. menegaskan peran zakat dalam salah satu dimensinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka serta mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)
Delapan Ashnaf: Golongan Penerima Zakat
Dalam konteks distribusi zakat, Islam telah menetapkan delapan golongan (ashnaf) yang berhak menerima zakat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Pemahaman yang tepat tentang delapan ashnaf ini menjadi kunci utama dalam mendistribusikan zakat, termasuk zakat fitrah agar mampu mencapai keberkahan dan efektivitas dalam menciptakan kesejahteraan sosial.
Distribusi zakat dalam Islam tidak berlangsung secara acak, melainkan mengikuti pola sistematis yang diatur melalui konsep ashnaf (golongan penerima). Konsep ini, sebagaimana termaktub dalam QS. At-Taubah ayat 60, yang menetapkan delapan kelompok yang berhak menerima zakat. Ayat ini menjadi landasan utama dalam penentuan delapan ashnâf (golongan) penerima zakat. Pada ayat tersebut Allah swt. menegaskan :
Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana” (QS. at-Taubah (9): 60).
Konsep ashnaf dalam distribusi zakat, seperti yang tergambar dalam ayat di atas membentuk suatu sistem kesejahteraan yang holistik. Secara filosofis, pembagian ini mencerminkan visi Islam yang komprehensif dalam menangani berbagai dimensi kemasyarakatan.
Dua kelompok pertama, fakir dan miskin, menjadi fokus utama sebagai representasi dari upaya pengentasan kemiskinan struktural. Dalam banyak literatur fiqih dijelaskan bahwa fakir adalah orang yang tidak memiliki sumber penghasilan sama sekali, atau memiliki sedikit penghasilan namun tidak dapat memenuhi separuh dari kebutuhan dasarnya. Sedangkan miskin adalah mereka yang memiliki penghasilan tetapi penghasilannya hanya mampu mencukupi kisaran 50 – 90% dari kebutuhan dasarnya. Distribusi zakat kepada kelompok ini tidak sekadar memenuhi kebutuhan konsumtif, tetapi juga bertujuan memutus mata rantai ketergantungan. Hal ini sejalan dengan teori maqāṣid syarī’ah yang menekankan perlindungan terhadap harta (ḥifẓ al- māl) dan jiwa (ḥifẓ al-nafs).
Kelompok ketiga adalah para amil zakat. Amil adalah petugas profesional yang diangkat secara resmi oleh pemerintah dan bertugas untuk penarik dan pengumpul zakat. Keberadaan amil zakat ini menjamin efektivitas pengelolaan zakat secara profesional. Dari perspektif sosiologis, ini mencerminkan prinsip spesialisasi kerja (division of labor) di mana setiap fungsi sosial memerlukan profesionalisme tertentu.
Muallaf dan riqāb mewakili dimensi sosial-politik dalam distribusi zakat. Muallaf yang dimaksud dalam konteks zakat adalah orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah, dia diberi zakat dengan tujuan agar imannya menjadi kuat, atau orang yang masuk Islam dan keyakinannya sudah kuat, akan tetapi dia punya kedudukan mulia di hadapan kaumnya, sehingga dengan memberinya zakat akan menarik kaumnya untuk masuk Islam (Lihat al-Iqnā`, karya Muhammad bin Ahmad as-Syarbaini, Juz 1 hl. 213). Sedangkan Riqâb (hamba sahaya) adalah pengalokasi zakat untuk membebaskan budak atau hamba sahaya. Saat ini, kategori riqab sering dikaitkan dengan upaya pemberdayaan sosial, seperti membantu orang yang terjebak dalam sistem perbudakan modern, perdagangan manusia, atau eksploitasi ekonomi. Penyertaan muallaf bukan hanya bersifat karikatif, melainkan strategi dakwah untuk memperkuat persatuan umat. Sementara riqāb, meski secara literal merujuk pada pembebasan budak, dalam konteks kontemporer dapat dimaknai sebagai upaya membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan modern. Ibnu Qayyim dalam I’lām al-Muwaqqi’īn menafsirkannya sebagai bentuk pembelaan terhadap kaum mustadh’afīn (tertindas).
Kelompok ke enam adalah ghârimin (orang yang berhutang). Ghârimin yang termasuk dalam kelompok penerima zakat ini dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: orang yang berhutang untuk dirinya sendiri tidak digunakan untuk maksiat, orang yang berhutang untuk mendamaikan perselisihan, dan orang yang berhutang untuk menempuhi sebuah tanggungan (Lihat I`anatut Thalibîn, Juz 2 hl. 191). Distribusi zakat kepada kelompok ini mencerminkan prinsip perlindungan sosial dalam Islam. Distribusi zakat kepada ghârimîn berfungsi sebagai social safety net yang mencegah seseorang terjerumus dalam spiral kemiskinan akibat terlilit hutang.
Kelompok yang ketujuh adalah fî sabîlillah atau orang-orang yang berjuang di jalan Allah (sabilillah). Dalam banyak literatur klasik, kategori ini dimaksudkan untuk orang-orang yang berperang (al-Ghuzzah) melawan musuh-musuh Islam dan tanpa
memperoleh bayaran. Namun demikian, ditemukan juga pemaknaan oleh para ulama yang cendrung lebih dinamis dengan mencakup semua bentuk kebaikan bagi kaum muslimin, seperti mengkafani jenazah, membangun benteng, memakmurkan masjid, membekali para pejuang di jalan Allah, serta hal-hal lain yang serupa yang mengandung kemaslahatan umum bagi kaum muslimin. Dalam literatur fiqih, pendapat ini diadopsi oleh Imam Al-Qaffal as-Syâsi dari mazhab Syafi’i, yang kemudian dinukil oleh Imam Ar-Razi dalam tafsir Mafâtih al-Ghaib. Pendapat ini berikutnya banyak diikuti oleh kalangan ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammah Mahlūf dalam al-Fatâwa al- Syar`iyyah wa al-Buhūts al-Islâmiyyah, jilid 1 halaman 297.
Kemudian kelompok yang terakhir adalah ibnu sabîl yaitu orang-orang yang melakukan perjalanan jauh dan kehabisan bekal dalam perjalanannya. Ibnu sabil atau para musafir yang kehabisan bekal dan dia tidak menemukan orang yang mengutanginya, maka boleh diberi zakat sejumah harta untuk dapat memyampaikannya ke tempat bermukimnya, sekalipun sebenarnya ia orang yang kaya di daerahnya. Distribusi zakat pada kelompok ini menunjukkan perhatian Islam terhadap mobilitas sosial dan perlindungan terhadap mereka yang kehilangan jaringan sosial.
Kesimpulan
Memahami delapan ashnaf penerima zakat merupakan kunci utama dalam distribusi zakat fitrah yang berkah. Zakat bukan hanya sekadar kewajiban agama, tetapi juga instrumen sosial yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan. Jika didistribusikan dengan benar, zakat fitrah dapat menjadi jembatan kesejahteraan bagi masyarakat yang membutuhkan. Oleh karena itu, pengelolaan zakat yang transparan dan adil sangat diperlukan agar zakat benar-benar menjadi solusi bagi kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat.